Keragaman Makna Kafir Menurut Buya Syakur
Substantif-Inklusif VS Formal-Eksklusif
Perdebatan yang mengikuti kajian tentang gerakan takfiri adalah seputar konsep Islam yang dipahami secara berbeda oleh beberapa kelompok. Kelompok pertama memahami Islam sebagai agama yang damai dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bahwa substansi diturunkannya Islam adalah untuk menjadi rahmat, menyebarkan cinta kasih, memberikan beras kepada orang miskin, memberikan buku untuk anak-anak sekolah, memberikan makanan untuk anak yatim, dan memberikan pengobatan yang layak kepada orang sakit.
Dan ini harus dilakukan dengan cara-cara yang damai, halus, lembut, penuh pengertian, dan tenang. Allah dalam pandangan kelompok ini adalah Tuhan Yang Maha Lembut, Pengasih, dan Penyayang. Intinya, bagaimana maqasid syariah yang lima itu bisa tercapai, yaitu menjaga jiwa, menjaga agama, menjaga harta, menjaga darah, dan menjaga kehormatan.
Di sisi lain, muncul kelompok literal yang, barangkali juga memiliki tujuan yang sama, namun menggunakan cara yang agak berbeda. Kelompok ini memiliki sifat yang lebih mudah marah, berteriak dengan keras, tegas, dan garang. Kelompok ini biasanya diisi oleh orang-orang yang tidak puas dengan keislaman kelompok pertama.
Varian Islam yang Banyak
Ahmad Najib Burhani mengatakan bahwa kelompok pertama sering disebut dengan ‘Islam banci’ oleh kelompok kedua. Disebut Islam banci karena tidak melakukan nahi munkar secara tegas, tidak menolak keburukan-keburukan yang ada, terlalu lembut dalam mendakwahkan Islam, dan sebagainya.
Sebenarnya varian Islam cukup banyak. Ada Islam syiah (yang oleh kelompok kedua sudah dianggap keluar dari Islam), ada Islam sufisme, ada Islam Ahmadiyah (kelompok ini juga sering dianggap keluar dari Islam. Namun mereka menampilkan wajah yang sangat lembut. Memiliki semboyan “love for all, hatred for none”), Islam politik, dan lain-lain.
Namun, secara garis besar, di Indonesia dua kelompok di atas yang cukup mendominasi. Saya ingat Syafii Anwar dalam sebuah pengantar untuk buku yang ditulis oleh Gus Dur, membagi Islam menjadi dua, yaitu substantif-inklusif dan formal-eksklusif. Substantif-inklusif mewakili kelompok pertama, formal-eksklusif mewakili kelompok kedua.
Tuduhan takfiri sering dialamatkan kepada kelompok formal-eksklusif ini. Mengingat metode dakwah mereka yang cukup keras. Mereka bahkan sampai titik tertentu harus mengkafirkan orang-orang Islam yang lemah keislamannya.
Yaitu tidak melakukan nahi munkar, dekat dengan orang-orang non Islam, atau tidak sesuai dengan Islam versi mereka. Jika dulu para ulama sibuk mengislamkan orang yang belum kenal dengan Islam, sekarang kelompok ini sibuk mengeluarkan orang yang sudah Islam agar keluar dari Islam.
Definisi Kafir Menurut Buya Syakur
Tentu, definisi kafir tidak sesederhana yang mereka ucapkan. Konsekuensi ketika seorang muslim menjadi kafir begitu besar, sehingga tidak layak stigma kafir ini menjadi seperti permainan saja. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama, kafir adalah istilah asing. Sehingga, kita harus mencarinya dari bahasa sumber kata kafir tersebut, yaitu bahasa Arab. Kedua, kata kafir muncul dalam konteks Islam pada 14 abad yang lalu. Sehingga hal itu juga meniscayakan penggalian terhadap konteks sosio-historis masyarakat Arab 14 abad yang lalu. Tanpa kedua hal tersebut, kita tidak memiliki landasan yang kuat untuk mengkafirkan orang.
Buya Syakur adalah ulama dari Jawa Barat yang sudah melalang buana untuk mencari ilmu. Ia pernah belajar di Tunisia, Libya, hingga London. Setelah pulang ke Indonesia, ia mendirikan Pondok Pesantren di Indramayu. Buya Syakur menyampaikan banyak definisi dari kata kafir. Dalam surat At-Tahrim ayat 8, ada redaksi ayat “an yukaffiro ‘ankum sayyiatikum” Yang berarti “menghapus kesalahan-kesalahanmu”. Dalam ayat ini kafir berarti menghapus.
Dalam hadits yang masyhur, Nabi berkata ” Kada al-faqru an yakuna kufran” Yang berarti “kefakiran itu dekat dengan kekufuran”. Menurut Buya Syakur, yang dimaksud dengan kufr dalam hadits tersebut adalah “gelap mata” karena tidak bisa makan.
Dalam Al-Hadid ayat 20, kuffar berarti petani, karena petani menutup benih yang ditanam dengan tanah. Dalam surat Al-Kafirun, kafir berarti komunitas agama lain yang hidup berdampingan dengan umat Islam. Buya Syakur mengartikan orang-orang yang kafir dalam Al-Baqarah ayat 105 dengan orang-orang yang iri ketika melihat orang lain mendapatkan kebaikan, dalam An-Nisa ayat 37 dengan orang-orang yang bakhil, dan Ibrahim ayat 7 dengan orang-orang yang tidak tahu terima kasih. Itu baru beberapa ayat, belum banyak ayat dan hadits lain yang menggunakan terminologi kafir.
Pencarian makna terhadap kata kafir akan jauh lebih memberikan sumbangsih nyata terhadap khazanah keilmuan Islam, daripada kemudian sibuk menunjuk hidung orang lain dengan panggilan kafir. Bahwa ternyata mendefinisikan sesuatu tidak pernah semudah menuduh orang lain dengan sesuatu tersebut. Di sisi lain, makna kafir juga tidak tunggal. Sangat mungkin setiap kelompok memiliki definisi dan batas-batas kekafiran yang berbeda-beda, sehingga, tidak bijak rasanya terlalu buru-buru menuduh orang lain dengan kata kafir.
Kata kafir dan non muslim sempat ramai diperbincangkan. Bahkan ada wacana untuk penggantian istilah kafir dengan nonmuslim. Tujuannya agar terlihat lebih bertoleransi. Namun KH Buya Syakur Yasin MA berpendapat, kafir dan non muslim itu berbeda.
“Saya tidak akan menilai agama lain, saya akan menilai agama saya sendiri. Yang penting saya hormati apapun istilah mereka. Saya ingin meluruskan pemikiran Islam itu sendiri, bahwa kafir itu bukan non muslim,” ujar KH Buya Syakur Yasin seperti dikutip dari kanal yutubnya berjudul “Kafir Atau Non Muslim? Buya Syakur Menjawab”.
Perbedaan itu, kata KH Buya Syakur, terletak pada pengertian dua kata tersebut. Menurutnya, kafir itu adalah siapapun orang yang menghalangi, memusihi, membenci, memfitnah, menggoda, dan menjerumuskan Nabi Muhammad SAW. Semengara penganut agama lain, tegas KH Buya Syakur, mereka tidak menghalangi dan memusuhi Nabi.
“Bahkan kita berdampingan dengan agama lain. Kadang-kadang mereka ada yang ikut menyumbang masjid, atau datang ke undangan. Tetangganya hajat, dia datang,” jelas KH Buya Syakur.
KH Buya Syakur juga mengaku sempat melakukan ta’jiah ke orang Tionghoa yang meninggal dunia. Saat itu mereka yang hadir sempat terheran-heran dengan kedatangan dirinya di rumah orang Tionghoa yang meninggal.
Ia beralasan, semasa hidupnya orang Tionghoa itu ikut menyumbang pembangunan mesjid. Dia juga sering menyumbang ke madrasah-madrasah.
“Padahal agamanya non muslim. Begitu dia meninggal, saya takjiah, datang. Saat itu banyak orang merasa heran melihat saya datang,” kata KH Buya Syakur.“Menurut saya, tidak menjadi persyaratan untuk menjadi muslim yang baik untuk membenci agama lain. Kan lakum dinukum waliadin. Agamaku untukku, agamamu untukmu,” jelasnya.
KH Buya Syakur menegaskan, di dunia ini tidak boleh ada permusuhan dengan negara lain. Kalau Islam tidak mendukung perdamaian dunia, maka Islam akan dikeroyok agama lain. Masih menurut KH Buya Syakur, kata kafit pertama kali muncul adalah untuk sebutan iblis. “Sebelum ada manusia, baru ada adam, pertama kali makhluk yang disebut kafir itu adalah iblis,” jelas KH Buya Syakur.
“Saya tanya, iblis itu percaya tuhan ngga? mungkin dia lebih ma'rifat dari kamu. Karena dia sombong. Jadi dia itu bukan tidak mengakui Allah. Dia hanya sombong, karena dia merasa terbuat dari api, sementara adam dari tanah,” tuturKH Buya Syakur.
“Seperti dalam Alquran, ‘wahai tuhanku, aku lebih hebat dari adam. Aku terbuat dari api, sementara adam terbuat dari tanah’. Berarti iblis mengaku bahwa yang menciptakanya adalah Allah. Dia hanya mempersoalkan proses pembuatan dia dan adam. Jadi orang kafir itu orang sombong,” jelas KH Buya Syakur.
Keragaman Makna Kafir Menurut Buya Syakur.VIDEO
No comments:
Post a Comment