Sound

Monday, December 6, 2021

Mencapai Ma'rifat dengan Mengenal Diri Sendiri



Mencapai Ma'rifat dengan Mengenal Diri Sendiri

Satu ciri orang yang telah mampu mengenal dirinya adalah ketika dia tau dari mana asalnya dan sekarang sedang apa, lalu nantinya mau kemana.

Dikisahkan ada sepasang suami istri bernama Yanto dan Yanti yang sedang ingin berbelanja kebutuhan pokok, Yanti punya uang 10.000 dan ia hanya ingin membelanjakannya 5000 saja sedangkan Yanto ingin uang itu belanjakan semua. Lalu terjadilah pertengkaran dan saling merebutkan uang, sampai-sampai uang tersebut sobek dan akhirnya Yanti mengalah lalu memberikan uang tersebut kepada Yanto.

Yanto memperbaiki uang tersebut lalu dibelikannya rokok 2 batang di warung, satu rokoknya ia bakar dan satunya lagi ia letakkan di telinga. Setelah itu mereka beranjak pulang, saat di jalan pulang mereka ditabrak oleh bus, nahasnya Yanto terhempas dan kepalanya membentur sebuah batu yang langsung membuatnya tidak sadar. Dibawalah Yanto ke rumah sakit, semua biaya rumah sakit tersebut ditanggung oleh perusahaan bus yang menabrak mereka.

Seminggu sudah Yanto tak sadarkan diri, anak dan istrinya merasa takut karena mereka berfikir suaminya tidak ada kesempatan untuk hidup lagi, tetapi sang dokter rumah sakit terus meyakinkan Yanti dan anaknya bahwa dokter sedang berupaya semaksimal mungkin agar yanto sehat kembali, dan setelah dokter melakukan berbagai macam cara akhirnya Yanto sadar dari komanya.

Yanti yang pada saat itu ada disampingnya ditanya oleh Yanto, "siapa kamu? Lalu dimana aku? Kenapa aku bisa sampai ada disini?". Ternyata Yanto belum sembuh total, akhirnya para dokter kembali melakukan operasi untuk memulihkan ingatan Yanto, dan selang beberapa hari akhirnya Yanto dinyatakan sehat, lalu Yanti bertanya, "siapa saya?" Yanto menjawab, "Kau Yanti, istriku." Secara spontan Yanti menangis terharu melihat ingatan Yanto kembali.

Yanti menanyakan kembali bagaimana bisa Yanto masuk rumah sakit, lalu Yanto mengingat dan menjelaskan kronologis awal mula iya bertengkar dengan Yanti dan sampai akhirnya mereka mengalami kecelakaan.

Dokter menduga bahwa Yanto sudah benar-benar sembuh, lalu dokter mengatakan, "Pak, bapak sudah sembuh dan karena semua administrasi sudah ditanggung oleh perusahaan yang menabrak bapak, maka bapak sekarang sudah boleh siap-siap untuk pulang dan akan diantarkan oleh ambulance rumah sakit."

Yanto    : "Saya tidak mau pulang!"

Yanti      : "Kenapa kamu tidak mau pulang?"

Yanto    : "Karena enak di sini, lantainya putih, kasurnya putih, dindingnya putih, jendelanya putih, dan orang-orang yang bekerja di sini memakai baju putih."

Pertanyaannya, apakah Yanto sudah benar-benar sadar?

Dari cerita di atas dapat dipetik pribahasa, "maka siapapun yang masih nyaman dengan dunia berarti ia masih linglung (belum sadar)." Karena kalau manusia sudah benar-benar sadar, pasti ia akan merindukan tempat pulang.

Lalu bagaimana kita bisa mengenal diri kita? Bahkan dalam bulan Ramadhan pun kita masih belum bisa mengenal diri kita, kita hanya bisa ‘mengintip’ dari celah-celah kecil, kenapa seperti itu? Padahal potensi mengenal diri sendiri ketika bulan Ramadhan cukup besar, karena hanya dengan ‘mengintip’ siapa diri kita saja, sudah mampu untuk berbuat dermawan, kebajikan, beribadah kpada Allah, dan mampu mengurangi kemaksiatan.

Sejak dahulu, dalam proses mengenal diri, para Shalihin melakukan gemblengan jasadnya (ragawiyah) melalui pertapaan-pertapaan. Karena orang-orang besar yang telah merubah sejarah dunia dan menulis dengan tinta emas peradaban yang hebat, rata-rata semuanya keluar dari pertapaan.

Buya Syakur Yasin setiap tahun rutin mengadakan kegiatan khalwat selama 40 hari di hutan, yang di mana tujuan dari kegiatan khalwat ini adalah untuk lebih dapat mengenal diri dengan berpuasa. Mata tidak maksiat, telinga tidak maksiat, mulut tidak maksiat, hidung tidak maksiat, dan kegiatan harian hanya diisi dengan berdzikir siang dan malam supaya dapat mengenal diri.

Sebagaimana ungkapan seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Mu’adz Ar Razi, bahwa:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Maka tidak jarang mereka yang telah mencapai ma’rifat telah terlebih dahulu mengenal dirinya, mengetahui bagaimana asal-usulnya, dan kemana tujuan ia selanjutnya.

Mencapai Ma'rifat dengan Mengenal Diri Sendiri. VIDEO






Sunday, December 5, 2021

Makna Sholawat Manusia, Allah dan Malaikat kepada Nabi Muhammad


Makna Sholawat Manusia, Allah dan Malaikat kepada Nabi Muhammad

Dalam Islam, sholawat dijadikan sebagai salah satu bentuk wirid manusia dalam mengharapkan syafaat atau pertolongan di kehidupan dunia dan akhirat. Tidak hanya manusia, Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan para malaikat juga ikut bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Baca juga:  Alquran Menyebut Kata 'Biji-bijian' 12 Kali, Sains pun 

Membuktikannya Sebagaimana firman Allah: اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰٓئِكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ ۗ يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا 

Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzab 33: Ayat 56) 

Pendakwah KH Buya Syakur Yasin menjelaskan makna sholawat oleh Allah, manusia dan para malaikat kepada Rasulullah. "Makna sholawat berbeda dari segi siapa yang menyampaikan,” katanya dalam sebuah ceramah di channel YouTube KH Buya Syakur Yasin seperti dikutip, 

 “Jika Allah SWT bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, memiliki makna Al Imdaad, yaitu menyuplai. Allah menyuplai energi luar biasa kepada Nabi Muhammad SAW melalui sholawat. Jika Malaikat yang berselawat, memiliki makna yastaghfiruuna lahu, yaitu mengawal kema'shuman atau penjagaan dari dosa Nabi Muhammad SAW.

” Bagaimana dengan manusia bersholawat, apa maknanya? “Jika manusia yang bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, memiliki makna berdo'a dan berharap akan syafaat atau pertolongan di alam dunia dan akhirat," jelas Buya Syakur.   Menurutnya menyampaikan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW bukan kepada jasadnya, melainkan kepada ruhnya.

 "Allah berfirman melalui hadits Qudsi لولاك لولاك لولاك يامحمد ماخلقت الأفلام 

wahai Muhammad, jika bukan karena engkau, tak akan aku ciptakan alam dunia ini. 

Saat berselawat, sejatinya kita sedang berkomunikasi dan melakukan koneksi dengan nur (cahaya) Muhammad. Apabila ruh kita sudah terhubung dengan cahaya Muhammad SAW, maka kita akan menghadirkan perdamaian, keselamatan atau dalam bahasa Arab disebut _tasliiman_. Jika kita sudah menerima cahaya Muhammad SAW, maka kita akan dibimbing pada jalan kehidupan yang baik," jelas Buya Syakur. 

"Jadi jika ada umat Nabi Muhammad SAW yang saling mencaci, membuat kerusakan dan membunuh, maka jangan membawa-bawa nama Nabi Muhammad SAW, karena misi Nabi Muhammad SAW adalah membawa perdamaian untuk seluruh alam. Karena bagaimanapun juga, kita mendapatkan informasi pertama mengenai Tauhid, ketuhanan melalui Nabi Muhammad SAW," pungkasnya

Makna Sholawat Manusia, Allah dan Malaikat kepada Nabi Muhammad.VIDEO







Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi


Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi

Seorang Kyai yang khas dengan bahasa panturan itu mengakui, bahwa ia sempat merasa menjadi seorang makhluk yang hidup sendirian di tiga puluh tahunnya selama kembali ke Indramayu, kampung halamannya. Pasalnya, masyarakat telah mendedahkan kepadanya sebuah kebudayaan berpikir sinonim. Ia menyebutnya sebagai tadarruf watut taradduf, atau similarisme. Ialah cara berpikir untuk menyama-nyamakan sesuatu. Padahal, adalah penting bagi setiap makhluk untuk membedakan sesuatu dengan yang lain, sebab menurutnya, setiap perubahan menuntut terma atau istilah yang baru.

Sebagai analogi, Ia menyodorkan perbedaan dan substansi antara cangkir dan gelas. Bagi kebanyakan orang, cangkir dan gelas adalah hal yang sama. Sebuah alat yang memiliki fungsi yang sama. Kendati keduanya dapat menampung teh dan (atau) kopi, namun cangkir dan gelas adalah dua hal yang berbeda. Esensi dari cangkir adalah sebagai wadah kopi. Sedangkan gelas memenuhi ketepatan sebagai wadahnya teh. Keduanya tetap berbeda dalam hal bentuk, meski beberapa fungsinya tetaplah sama. Sebab itulah cangkir tetaplah cangkir dan gelas tetaplah gelas. Hal inilah yang ingin disoroti oleh Buya Syakur Yasin. Bahwa tidak segala hal yang sama dapat dipikirkan sebagai sesuatu yang sama, similarisme.

Buya Syakur, begitu ia akrab disapa, kemudian menyodorkan pertanyaan. “Ketika kita bicara tentang keabadian, keabadian mana yang kita bicarakan?”. Dengan wajah tersenyum, ia kemudian menyambung jawaban.

“Sebab daiman tidak sama dengan abadan. Dan abadan tidak sama dengan khalidan. Begitupun juga dengan khalidan, ia tidak sama dengan sarmadan. Yang dijamin abadi oleh Allah adalah al-Dzikr, bukan Al-Quran”, ungkapnya.

Dalam ngaji rutinan yang dilaksanakan bersama Wamimma TV melalu channel youtubenya, bertemakan ‘Agama dan Budaya; Buya Syakur Menimbang yang Fana dan yang Abadi’. Ia mengupas perbedaan antara budaya dan agama sampai pada kulitnya. Bagi Buya Syakur sendiri, apapun yang lahir dan dihasilkan oleh manusia, baik berupa pemikiran dan produk kemanusiaan adalah definisi budaya. Hal ini yang kemudian sering menjadi pokok persoalan di masyarakat Indonesia, dari hukum hingga madzab. Ia mengingat-tegaskan, jangan sampai salah satu dari kita terjebak pada klaim kebenaran, apalagi sampai merujuk bid’ah atau kafir-mengafirkan. Karena pada dasarnya, manusia tidak tahu apa-apa. “Mulut saya terlalu mahal untuk mengecap benar, apalagi sampai mengafirkan sesuatu atau sesiapa”, tandasnya.

Sementara itu, dalam menimbang arti abadi, pengkaji kritik objektif Novel Yusuf As-Siba’i ini menilai, bahwa abadi adalah ketika waktu dan gerakan itu berakhir. Abadi terjadi ketika sudah tiada lagi hitungan waktu yang menandakan saat itu berhenti bergerak. Waktu adalah tiada, yang ada hanya nisbi. Baginya, waktu merupakan produk dari kebudayaan. Dalam menerangkan hal ini, Buya Syakur menjelaskan tradisi dan kebudayaan bangsa Mesir dalam menentukan waktu. Dari mengukur pagi dan siang dengan penggalah, hingga akhirnya tercipta pengukur waktu dari pasir. Keadaan itu berlanjut hingga sekarang, saat manusia tengah difasilitasi dengan gadget sebagai pengukur waktu yang akurat. Penjelasannya tersebut sekaligus menerangkan, bahwa ideologi, agama, budaya, atau bahkan sains, merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri dan menjadi bagian dari arus sejarah bangsa atau budaya lokal, terlebih bahasanya.

Betapa menggelikan, meneropongi fenomena yang akhir-akhir telah melanda Bangsa ini. Dimana tukar-padu, perselisihan, juga fatwa yang membaur-memenuhi beranda media, lalu terdengar di setiap telinga. Hal ini hanya disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang dualisme yang niscaya. Bagaimana mungkin, seseorang dapat memerah telinganya hanya karena mengetahui tradisi Sekaten masih dihidupi oleh warga Surakarta, atau upacara Nyadran yang masih lestari di wilayah Jawa Timuran. Dengan lantang dikatakan bahwa segala tradisi yang masih hidup dan dipercayai oleh masyarakat itu adalah bid’ah, suatu kekafiran terhadap Tuhan. Anak kebudayaan seperti tertukar dengan agama. Sehingga bid’ah dan label haram begitu ringan diucapkan, tanpa memahami asbabun nuzul atau sebab-sebab kehadirannya dan tanpa mengetahui apa dan sesungguhnya maknanya, yakni puncak dari bahasa itu sendiri.

Sebagai kesimpulan, ia menunjukkan sebuah bagan yang diguratnya menggunakan media kertas dan spidol hitam. Dalam bagan lingkaran yang terdiri dari beberapa lipatan, ia menulis kata syariat, akidah, akhlaq, dan yang terakhir cinta. “Kita akan berhenti bertengkar perihal agama ketika sudah sampai dan masuk ke inti agama, ialah cinta”, pungkasnya.

Kata-kata Buya, mengingatkan kita pada kidung cinta Sang Syaikhul Akbar, Ibn ‘Arabi. “Aku beragama dengan agama cinta/ ke manapun ia bergerak, maka cinta adalah agama dan keyakinanku”. Cinta adalah agama itu sendiri. Agama bukan hanya liturgi, melainkan ruh yang menyatu bersama Sang-Ada, melebur dalam Ke-ti-ada-an, menyandar pada kalimat Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Mengabadikan yang Fana, Memfanakan yang Abadi, serupa alasan Tuhan menciptakan bumi dan seisinya.

Antara Agama dan Budaya, Menimbang yang Fana dan yang Abadi.VIDEO






Menggapai Ikhlas yang Sesungguhnya


Menggapai Ikhlas yang Sesungguhnya

Terdapat banyak penjelasan mengenai ikhlas. Ada yang berpendapat bahwa ikhals adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, ada yang berpendapat bahwa ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk, dan berbagai penjelasan lainnya.

Akhlasha, yukhlishu, ikhlaashan.” Begitulah bunyi tashrifannya. Kata tersebut memiliki isim fa’il ‘mukhlisun’, sementara isim maf’ul-nya adalah ‘mukhlasun’. Di antara kedua isim ini (baca: mukhlis dan mukhlas) memiliki perbedaan.

Hal ini, ketika dikontekstulisasikan dengan firman Allah, saat iblis dendam kepada manusia karena gara-gara manusia, iblis diusir dari surga. Dia kemudian mengatakan, “قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٨٢﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ ٨٣" (Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali para hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka). Siapakah mukhlashun itu?

KH Buya Syakur Yasin pernah menjelaskan hal ini. Bahwa, orang yang mukhlashun tersebut adalah orang-orang yang ikhlasnya sudah 100 persen dan sudah tidak bisa dipermainkan oleh setan-setan tersebut.

Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan kita, umat manusia di zaman sekarang. Kita ini mentok-mentoknya hanya sampai pada tataran “mukhlisun”, belum sampai “mukhlasun”. Artinya, kita lagi berupaya menjadi orang yang mukhlis yakni orang yang ikhlas. Sehingga, jika masih berada di tataran ini, kita tetap selalu mudah tergoda oleh setan.

Perbedaan Ikhlas dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

Banyak istilah-istilah yang diimpor oleh Indonesia dari bahasa Arab, di mana dalam pengimporan tersebut, akan memiliki makna yang berbeda.  Misalnya, istilah murid dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai anak yang belajar di SD atau MI, kalau SMP dan SMA disebut siswa, sementara di perguruan tinggi, namaya mahasiswa. Berbeda dengan makna “murid” dalam bahasa Arab di mana artinya adalah siswa yang tertinggi, sementara gurunya adalah ‘mursyid’. Sementara tingkat SD diberi istilah “tilmidzun”. Jika ada orang di Arab yang sedang belajar di tingkat S1, S2 atau bahkan S3, maka dia disebut sebagai “al-murid”.

Oleh sebab itu, harus kita cermati terlebih dahulu, apakah ikhlas itu dalam arti bahasa Indonesia atau diartikan dalam bahasa Arab. Jika ikhlas dalam bahasa Indonesia maknanya adalah tidak minta upah. Akan tetapi, sebetulnya dalam bahasa Arab, sekalipun minta imbalan masih dalam wilyah ikhlas. Sekalipun orang itu mengharapkan surga, dia sudah termasuk ikhlas. Tapi, itu masih dalam tataran mukhlis, belum sampai pada tataran mukhlas.

Hal ini tidak lepas dari sejarah para Nabi dan para Rasul di mana ketika menjalankan tugasnya menyampaikan dakwah, masih ada harapan mendapat bayaran dari Allah. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah ini, “Inni lakum rasuulun amiin. Fattaqullaha wa athi’un, wa ma as alukum min ajrin in ajriya illa ‘ala Rabbil ‘alamin” (Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taat lah kepadaku, dan sekali-kali aku tidak minta upaya kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanya lah dari Tuhan semesta alam).

Dari ayat tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa bahkan para nabi saja, masih mengharap balasan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Apakah para Nabi ikhlas? Ya Ikhlas. Jadi pengertian ikhlas itu sampai batas mana.

Hal ini sangat beralasan. Sebab, Allah sendiri di dalam Al-Qur’an sudah mengiming-imingi, menawarkan pahala, wa saari’u ila maghfiratum min rabbikum, wa jannatin arduha as-samawati wa al-ardh. Segeralah engkau bertaubat kepada Allah, berbaktilah kepada Allah. Allah menjanjinjikan. Lahum jannatun min tajri min tahtihal anhaar. Allah sendiri yang mengiming-iming, menawarkan surga. Maka kita sah-sah saja kalau kita mengharapkan surga.

Menggapai Ikhlas yang Sesungguhnya

Dalam terminologi Arab ini, kalau orang itu beribadah mengharapkan surga, ujung-ujungnya dia minal mukhlisin. Kalau untuk tidak lagi berharap apapun, nanti menujunya minal mukhlasin, yaitu sudah tidak minta pahala, tidak minta surga, tidak minta sehat, tidak minta rizki, semua apapun yang dilakukannya just because I love you, aku hanya mencintai kamu.

Oleh sebab itu, hal yang penting untuk kita lakukan agar bisa menuju, berproses mencapai ikhlas yang sesungguhnya adalah, kita harus bangun rasa cinta kepada Allah. Ya, kita harus berupaya membangun rasa cinta kita kepada Allah.

Ibaratnya, perempuan saja pasti akan menolak jika kita mengatakan ‘aku cinta kepadamu karena aku mengharapkan hartanya’, perempuan pun juga akan menolak cinta kita jika kita mengatakan ‘aku cinta kepadamu karena bapaknya jadi menteri, barangkali nanti diangkat jadi pegawai negeri’. Oleh karena itu, jika kita mencintai perempuan, maka katakanlah, ‘neng aku mencintaimu, aku menerima segalamu, dengan kebaikanmu, dengan burukmu, aku mencintaimu lahir dan batin’.

Bagaimana cara kita membangun cinta kepada Allah? Apakah sama dengan cara membangun cinta kepada perempuan? Kenapa kita hingga saat ini belum bisa mencintai Allah? Apa sebabnya?

Jawabannya adalah, karena semua apa saja yang kita lakukan ujung-ujungnya untuk kepentingan diri sendiri. Kapan kita berbuat untuk Allah? Nah, itu pertanyaan besar?

Untuk menjawab kenapa kita tidak pernah cinta kepada Allah, sebabnya adalah karena kita tidak pernah merasakan kebaikan-kebaikan Allah. Kita tidak pernah merasa diberi oleh Allah. Itu saja.

Oleh sebab itu, mulai sekarang, kita harus bisa menyadari bahwa apapun yang kita dapatkan, sekalipun secara syariahnya kita menjadi TKI, bekerja, dan berbagai hal yang telah kita lalui, begitu kita menerima rizki, maka katakanlah, “hadza min fadhli rabbi, ini adalah anugerah Tuhanku, terima kasih aku telah menerima rizki.” Begitu kita menerima rizki, sanjunglah Allah, dan terima kasih kepada Allah. Di situ akan tumbuh rasa cinta kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Kendati begitu, hal yang juga perlu disadari adalah bahwa Allah juga tidak selalu mengabulkan doa Anda. Fainna ma’al usri yusro, ada sulit ada mudah. Maka dari itu, tidak ada hidup yang lancar. Rejeki kadang-kadang banyak, kadang-kadang sedikit. Kadang-kadang kita sakit, kadang-kadang kita sembuh. Tetapi bersyukur kepada Allah, jangan hanya ketika mendapatkan uang saja. Jangan hanya saat kita mendapatkan rezki saja. Kita bersyukur, kita memuja Allah dalam kondisi apapun. Selalu mengatakan, alhamdulillah.

Kalau kita sudah betul-betul mencintai Allah, dalam kondisi apapun kita, akan selalu memuja Allah. Apabila kita selalu memuja Allah dalam kondisi apapun, nanti Allah akan mengatakan: “wahai hambaku, apabila mulutmu selalu memuji-Ku, maka nanti apapun yang keluar dari mulutmu pasti Aku dengarkan”. Di situ lah, di ujung lidahmu ada nama kun fayakun, apa yang kau ucapkan, pasti terjadi.

Bagaimana caranya kita memuji Allah? Ada petunjuk dari Allah. Makanya, Allah selalu mendengar kita, kita baca sami allahu liman hamida, Allah selalu mendengarkan orang yang memujinya. Tapi bagaimana cara memuji Allah? Tidak boleh setengah-setengah. Tumpahkan semuanya. Tidak ada ruang-ruang kosong. Tumpahkan semuanya. Rabbana lakalhamdu, ya Allah kami selalu memujimu. Seberapa banyak kau memuji Allah? Mil ussamawati wa mil ul ardhi, wa mil uma syi’tamin syai im ba’du.

Menggapai Ikhlas yang Sesungguhnya. VIDEO







Buya Syakur: Tidak Masuk Akal Meninggal Ucap Kalimat Syahadat Bisa Masuk Surga


Buya Syakur: Tidak Masuk Akal Meninggal Ucap Kalimat Syahadat Bisa Masuk Surga

Buya Syakur mengatakan bahwa tidak masuk akal bahwa seorang muslim mengucapkan kalimat syahadat akan masuk surga. Menurutnya, hadis itu telah mengalami pergeseran. Kata dia, maksud hadis itu adalah tentang persatuan.

“La ilahaillallah adalah simbol bahwa kita dalam kesetaraan. Tetapi kemudian dalam perjalanan peradaban umat Islam ini bergeser. Menjadi ucapan lailaha illallah menjadi kunci untuk masuk surga” kata Syakur. Dia mengatakan, menjadi aneh jika hanya dengan ucapan orang bisa masuk surga.

“Menjadi tidak masuk akal. Masak masuk surga dengan ucapan? Memangnya film Barbie. Memangnya film Aladin? Jadi yang dijamin masuk surga adalah yang mendukung Nabi dalam rangka mendukung persatuan,” ucapnya.

Dia juga menyinggung soal Islam disebut agama yang sempurna. Syakur membantah pernyataan itu. Menurutnya di dunia tidak ada yang sempurna.

Buya Syakur menjelaskan aslinya sih menurut pengetahuan yang ia yakini, yang pasti dijamin surga adalah mereka yang menjaga persatuan. Tapi sekarang bergeser maknanya.

“Dalam perjalanan peradaban umat Islam bergeser menjadi La ilaha illalaah kunci masuk surga. Nabi Muhammad memang menjamin siapa yang mendukung persatuan dijamin masuk surga. sekarang, sebelum meninggal mengucap La ilaha illallah, sekarang masuk surga, nggak masuk akal. Hanya karena ucapan. 

 Buya Syakur: Tidak Masuk Akal Meninggal Ucap Kalimat Syahadat Bisa Masuk Surga. VIDEO





10 Kata-kata Bijak Buya Syakur, Bikin Adem dan Bisa Dijadikan Bahan Renungan

10 Kata-kata Bijak Buya Syakur, Bikin Adem dan Bisa Dijadikan Bahan Renungan

 Buya Syakur sangat dihormati ulama lain dan dikenal sebagai karib dekat dengan almarhum Gus Dur dan Cak Nur.Buya Syakur kerap berceramah dan di setiap ceramah sering kali melontarkan kata-kata bijak yang sarat akan makna dan cocok dijadikan renungan hidup.

Dari sekian banyak, Santai Aja merangkam dari beberapa sumber 10 kata-kata bijak Buya Syakur.

1. Orang Yang Sekarang Masih Rakus, Itu Dalam Dirinya Tidak Sadar Bahwa Hidup Ini Tidak Abadi

2. Kalau Anda Yakin Semuanya Akan Ditinggalkan, Tentu Anda Akan Mencukupkan Sesuai Dengan Kebutuhan Hidupmu Saja.

3. Bagaimana Mungkin Kamu Memahami Allah Maha Pemaaf, Sementara Kamu Tidak Pernah Mau Memaafkan Orang Lain.

4. Cinta tidak bisa memilih, di saat mereka memilih itu bukan cinta.

5. Hatimu bisa melihat lebih tajam dari pada pandangan matamu.

6. Loyalitas Tertinggi Dalam Persahabatan adalah Dengan Saling Mendoakan.

7. Praduga Baik dan buruk ditentukan oleh kondisi jiwa itu sendiri.

8. Mengapa kita berburuk sangka kepada Allah , sedangkan semua yang diberikan Allah ,itu karena saking sayang nya kepada ciptaan-Nya.

9. Ketika Anda Merasa Bangga Dihormati Orang Karena Materimu, Anda Menipu Dirimu Sendiri,

10. Jadikan Proses Belajarmu Sebagai Ibadah Kepada Allah, Bukan Untuk Mengejar Selembar Ijazah.

10 Kata-kata Bijak Buya Syakur, Bikin Adem dan Bisa Dijadikan Bahan Renungan. VIDEO